Thursday, July 23, 2009

Resepsi Pernikahan

Belakangan ini resepsi pernikahan menjadi sebuah ritual yang hukumnya fardhu a'in atau wajib bagi setiap pasangan yang telah mengucapkan ijab kabul. Apakah pernah terpikirkan bahwa tradisi resepsi pernikahan adalah hal absurd yang bertaburan hal-hal pemborosan dan berlapiskan nilai-nilai riya' dan bid'ah? Terlebih acara semacam ini SANGAT MEMBOSANKAN!! Secara substansial, resepsi pernikahan merupakan sebuah publikasi kepada khayalak ramai bahwa telah terjadinya suatu pernikahan antara si A dengan si B yang berasal dari keluarga ini-itu plus embel-embel lainnya. Bila kita mampu mengekstrak substansi tersebut dan mencoba menyimpulkannya maka akan terlihat bahwa nilai-nilai riya' mendominasi konsepsi tersebut. Bahkan kini konsep tersebut menjadi sebuah konsep sakral oleh sebagian besar anggota masyarakat.

Resepsi pernikahan menghidangkan kenyataan artifisial dimana megahnya gedung pernikahan, makanan katering yang tersajikan, tokoh-tokoh yang diundang, dan segala macam hal-hal yang melatarbelakangi konsepsi tersebut menjadi sebuah ajang "perbudakan". Perbudakan terhadap apa? Yaitu menghambasahayakan (bila tidak ingin disebut budak) diri terhadap kehidupan duniawi. Entitas sosio-kultural tersebut telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Padahal konyolnya, bila sekedar ingin memberitahu orang lain bahwa dua pihak keluarga telah terjalin sebuah ikatan, mengapa tidak cukup dengan mempublikasikan melalui media massa atau memakai pengeras suara dari masjid, biar ramai sekalian. Sehingga rasanya tidak perlu menghabiskan puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk mengadakan suatu resepsi pernikahan. Orang hilang saja cukup diumumkan dalam Berita Orang Hilang di sebuah surat kabar, dan bisa membuat seluruh negeri tahu apa yang terjadi.

Namun masyarakat dewasa ini ingin menampilkan bahwa pernikahan adalah sebuah fenomena luar biasa sehingga sebagai mediasi kepatuhan terhadap etika sosial mereka merepresentasikannya dengan mengadakan resepsi pernikahan yang dianggap pula sebagai tanda syukur atas konsep berketuhanan mereka. Jadi bermewah-mewahan adalah salah satu bentuk kepatuhan terhadap Tuhan?? Jadi pemborosan adalah suatu bentuk itikad peribadatan?? Kancut!

Masyarakat semacam itu hanya ingin menampilkan suatu keadaan yang dipaksakan kehadirannya dan dipaksakan wujudnya sebagai suatu artifisialitas etika sosial yang diartikulasikan dalam kemeriahan dan gegap gempitanya suatu resepsi pernikahan. Biaya yang dibutuhkan dalam mengadakan resepsi pernikahan bukan seperak dua perak namun puluhan juta, ratusan juta, bahkan mencapai milyaran rupiah. Sungguh suatu tindakan pemborosan tingkat tinggi. Sebelum menjalani kehidupan rumah tangga mereka telah disuguhkan suatu kebobrokan mentalitas dan kehidupan pemborosan yang berimplikasi pada gaya hidup pasca-pernikahan. Kehidupan rumah tangga bukanlah suatu kehidupan yang menyenangkan sehingga sangat tidak wajar bila resepsi pernikahan merupakan media yang representatif dalam mengagungkan Tuhan dalam konsep berketuhanan sebagai suatu tanda syukur. Akan sangat bermartabat dan bernilai amal bila resepsi pernikahan digantikan dengan mengadakan "Pesta Rakyat" dengan konsep Oleh Rakyat, Dari Rakyat dan Untuk Rakyat. Rakyat disini diartikan sebagai suatu kaum yang kurang beruntung dari segi materi. Dalam konsepsi "pesta" ini, kedua mempelai akan merasakan penderitaan saudara-saudara mereka yang kurang beruntung serta akan bersyukur kepada Tuhan atas nikmat tak terbatas yang telah mereka terima. Selain itu mereka yang kurang beruntung dapat pula merasakan serta menikmati kegembiraan yang dirasakan oleh kedua mempelai yang baru saja mengikat diri dalam mahligai rumah tangga. Konsep "pesta" ini akan membawa kesejukan tersendiri bagi mereka yang memiliki nurani dan membawa semangat baru bagi kedua mempelai untuk menjalani kehidupan pribadi yang lebih baik dan rumah tangga yang sakinah. Biaya yang dikeluarkan pun tidak akan sebesar biaya ketika mengadakan gemerlapnya pesta sehari dengan makanan katering yang melimpah ruah dan acapkali tidak habis, biaya sewa gedung yang megah, biaya undangan yang eksklusif, dan pusingnya menentukan ratusan bahkan ribuan kepala yang harus diundang.

Resepsi pernikahan bagi sebagian orang merupakan suatu prestise dan gaya hidup. Mereka yang mempunyai paradigma konvensional tersebut adalah para Public Figure seperti artis, pejabat tinggi, pengusaha, dan sebagainya. Dengan disewanya "kuli-kuli" pembuat konsep acara pernikahan yang dengan istilah kerennya disebut Wedding Organizer, maka berlomba-lombalah sang Public Figure kita dalam mempertontonkan kekayaannya dengan mengadakan resepsi pernikahan yang mewah, yang bertabur bintang, silau cahaya yang memabukkan, dan dengan gegap gempita musik yang membahana. Rekan-rekan sesama orang kaya sudah pasti akan menghadiri resepsi tersebut dengan mengenakan pakaian yang gemerlapan pula dan perhiasan yang super mahal. Sehingga seakan-akan telah menjadi suatu syarat bahwa resepsi pernikahan merupakan suatu sumber daya sentral dalam mengkomunikasikan dan mengangkat suatu makna. Serta menjadi kerangka utama dalam budaya kontemporer untuk memanipulasi identitas diri dan identitas sosial sehingga gaya hidup dan prestise merupakan pengejawantahan suatu visualisasi tampilan luar. Sehingga terjadi dekadensi makna esensial dari sebuah resepsi pernikahan. Tidakkah mereka sanggup membuka mata bahwa materi yang telah mereka keluarkan terdapat banyak hak anak yatim, hak kaum dhuafa dan hak para fakir miskin. Suatu proposisi yang tidak imbang dimana kejayaan semu telah membutakan mata sehingga tidak tercapainya titik equilibrium kehidupan. Selain itu telah mengartikulasikan suatu tujuan kehidupan semu nan absurd bagi penikmat keadiluhungan ideologi borjuisme dalam budaya kontemporer posmodern.

Dari konsep yang telah dipaparkan maka akan lebih baik bila resepsi pernikahan bukan berupa gemerlap pesta sehari. Namun dapat menjadi suatu ajang muhasabah atau perenungan bahwa dalam kebahagiaan ini terdapat saudara-saudara kita yang masih membutuhkan uluran tangan mereka yang memiliki nurani dan sarana menumbuhkan semangat hidup hemat dalam kehidupan rumah tangga yang akan dijalani.

1 comments:

paank Fachrezi said...

Iya mbak, resepsi juga menjadi alasan kami kenapa tak segera "melanjutkan" kasih yang kami jalin. Faktor utama adalah orang tua, kami ingin mempersembahkan semacam kebanggaan bagi beliau-beliau. Yah, ini menjadi semacam "pentas harga diri" bagi mertua dan besan. Entahlah.

Post a Comment

 

©2009 Rumah Pernikahan | by TNB